�NO MOM! Aku tidak akan mau pindah ke sana! Never�!�
Kutatap Danny adikku, berusaha meminta dukungan. Tapi ia hanya menggeleng lemah. Pasrah. Aku menggeram kesal.
�Kau pasti akan suka tempat itu, Jess.� Mom berusaha merayuku. Ia mulai menceritakan betapa indahnya bukit-bukit di tempat bernama Dark Peak itu. Namanya saja sudah cukup ampuh untuk membuatku bergidik ngeri. Tapi percuma. Sehebat apapun tempat itu menurut Mom dan Dad, aku tetap tak tergoda.
Aku sudah membayangkan betapa mengerikannya tempat itu. Ah, tak akan terjadi! Apalagi baru minggu lalu aku mulai berkencan dengan Bill, teman sekelasku. Aku benar-benar frustasi memikirkan betapa akan kesepiannya aku di sana, tanpa ponsel bahkan mungkin tanpa listrik.
***
Aku menyerah. Dad mengancam akan melarangku keluar rumah jika aku tetap berkeras menolak pergi. Dark Peak. Semua hampir sama mengerikannya dengan apa yang ada di benakku, kecuali kenyataan bahwa rumah baru yang aku tempati begitu luar biasa menakjubkan. Rumah itu besar sekali, jauh lebih besar dari rumah Tiffany�temanku yang paling kaya dan sombong di kota lamaku. Wow, dia pasti akan iri sampai gila melihat rumah baruku ini. Hal itu membuatku sedikit merasa terhibur. Aku terpekik pelan melihat kamar baruku. Danny berteriak seperti kesurupan di lantai bawah, melaporkan kepada Dad bahwa ia menemukan ini itu dan hal-hal hebat lainnya. Tapi perhatianku hanya tertuju ke kamarku. Kamar yang luar biasa. Benar-benar cantik. Aku bergegas meraih ponselku, berusaha menelepon Bill atau siapapun untuk menceritakan ini. Tapi gagal. Aku tak bisa menghubungi siapapun. Sial!
Kuhempaskan tubuhku ke tempat tidurku. Perjalanan ke sini membuatku lelah dan membuatku mengantuk. Aku tertidur entah berapa lama, sampai suara-suara berisik di luar membangunkanku. Di luar sepertinya sudah gelap. Aku keluar kamar untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Di ruang tengah, kulihat Dad bersama seorang pria sedang berusaha menggeser piano kami. Mereka berisik sekali.
�Hai Jess, kau sudah bangun Sayang?� Mom membawa nampan berisi minuman dan meletakkannya di meja. Seorang wanita setengah baya duduk di sana sambil tersenyum memandangku.
�Ini Jess anak kami. Jess, ini Mrs. dan Mr. Nick. Mereka tetangga kita.� Mom menunjuk ke arah pria yang bersama Dad tadi. Aku tersenyum dan mengangguk pelan ke arah mereka.
Danny sedang berlarian kesana kemari bersama seorang gadis kecil.
�Itu Daisy, anak kami.� Mrs. Nick menjelaskan padaku. Oh bagus, Danny sudah menemukan teman baru dan sebentar lagi mereka mungkin sudah akan membakar rumah. Aku lebih memilih keluar rumah, siapa tahu aku bisa menemukan pria tampan seperti Bill, mungkin?
Keadaan di luar sungguh sepi. Rumah-rumah terletak berjauhan. Hanya sesekali ada orang lewat, memandang rumahku dan berlalu. Aku menyapa mereka, tapi sepertinya mereka tak mendengarku. Hebat. Aku akan mati kesepian di sini.
***
�Mom!!� teriakan Danny membangunkanku pagi itu. Entah kekacauan apa lagi yang di buat olehnya pagi-pagi buta seperti ini.
�Kenapa sampai seperti ini?� Mom tampak sedang memeriksa leher Danny dengan seksama. Aku yang penasaran ikut melihatnya. Oh Tuhan, tampak bekas luka melingkar di lehernya. Seperti luka jeratan atau semacam sayatan. Danny hanya menggeleng sambil menangis.
�Aku tak tau Mom.�
Saat itu terdengar suara pintu di ketuk. Mr. dan Mrs. Nick bersama Daisy melangkah masuk. Aneh sekali mereka. Keluarga macam apa yang sudah bertamu di pagi buta begini?
Seperti sudah tahu, Tuan Nick langsung menghampiri Danny, memeriksa lehernya dan tersenyum.
�Tidak apa-apa. Dia akan baik-baik saja.� Mrs. Nick lalu mengoleskan sesuatu ke leher Danny, dan ia langsung berhenti menangis. Bahkan beberapa waktu kemudian ia sudah asyik berkejaran dengan Daisy.
�Kalian sebentar lagi akan tau.� Tuan Nick berkata dengan tenang. Dad tampak bingung.
�Maksud Anda?�
�Mr. Regy, keluarga Anda sebentar lagi pasti akan terbiasa. Bersiap-siaplah. Ini tak akan sulit.�
Dad memandang Mom dengan pandangan aneh. Pandangan anak sekolah yang sama sekali tak mengerti ucapan gurunya.
Gila. Pikirku geli. Apa sih yang mereka bicarakan?
Sudah cukup semuanya membuatku pusing. Sampai hari ini, aku sama sekali tak bisa menghubungi Bill maupun teman-temanku. Ponselku hidup, tapi tak dapat kugunakan. Mungkin tempat ini berada di luar jangkauan. Kualihkan pandanganku ke halaman, tempat Danny dan Daisy bermain. Daisy tampak memberikan lotion ke tubuh Danny. Aku melangkah ke arah mereka. Baru beberapa saat aku terkena matahari, kulitku terasa panas dan memerah. Hey? Sejak kapan kulitku berubah begini sensitif? Daisy menghampiriku.
�Mulai sekarang kau perlu ini. Seperti kami,� ucapnya riang. Kuambil tabir surya itu dari tangan mungil Daisy.
�Thanks,� jawabku singkat.
�Jess, kau lihat leherku. Kata Daisy, luka ini tak akan hilang. Dan aku harus terbiasa dengannya.� Danny menunjukkan bekas lukanya yang sekarang tampak sedikit mengering.
�Kenapa begitu?� tanyaku lebih kepada Daisy.
�Kau nanti akan tau.� Astaga, kenapa tetangga baru kami itu semua gila?
***
Keluarga Nick setiap hari berkunjung. Aku makin tak tahan dengan sinar matahari, itu membuatku lebih senang berada di kamar. Luka Danny benar-benar tidak hilang. Dan hari ini, keadaan lebih buruk lagi. Dad mengeluhkan dadanya yang sakit. Mom tak memperbolehkannya keluar kamar. Tapi Mrs. Nick bilang kami tak perlu memanggil dokter. Dokter tak akan bisa membantu.
Malamnya, Danny masuk kamarku dengan tergesa-gesa.
�Jess� Kau harus ikut aku! Daisy bilang ia bisa menyembuhkan leherku dan Dad.�
�Daisy?� ucapku tak percaya. �Ia anak kecil Danny. Mana mungkin ia bisa?�
Danny berkeras. Ia menarikku keluar rumah. Sudah hampir tengah malam. Aku takut Mom dan Dad memarahi kami karena keluar dari rumah. Tapi Danny meyakinkanku. Di ujung jalan, Daisy tampak sudah menunggu kami. Kami berjalan mendekatinya. Dan.. Tidak! Ia seperti bukan Daisy. Wajahnya tampak menyeramkan. Darah menetes dari mulutnya. Aku hampir lari ketika tiba-tiba ia berkata �Jangan takut. Aku ingin menunjukkan sesuatu pada kalian.�
Kugenggam tangan Danny erat, saat kami berjalan mengikuti Daisy. Gadis kecil itu melangkah begitu cepat. Beberapa saat kemudian kami sampai di suatu tempat yang tampak seperti jurang. Suasana yang gelap tak memungkinkan kami dapat melihat jelas.
�Kau siapa? Kenapa kau membawa kami ke sini?� Danny bertanya dengan gemetar. Daisy hanya tersenyum.
�Bukankah kau ingin tau bagaimana lehermu bisa terluka? Kenapa ayahmu sakit? Dan kenapa kalian merasakan keanehan di desa ini?�
�Maksudmu? Apa kau hantu Daisy?� Aku memberanikan diri bertanya.
�Begitulah. Kami begitu kesepian di sini. Mom dan Dad, mereka tak punya teman. Aku juga.�
�Lalu, apa hubungannya dengan kami?� Aku bingung.
�Kalian lihat ke bawah sana.� Ia menunjuk ke arah dasar jurang. Kami terbelalak. Di sana ada sebuah mobil yang sudah hancur.
�Itu kalian.� Daisy berkata ringan. Kami terbelalak. Bagaimana mungkin? Daisy membawa kami lebih dekat ke mobil itu. Dan benar saja, itu mobil kami. Kami gemetar. Ragu kulihat ke dalam mobil, dan pemandangannya sungguh mengerikan. Dad tergeletak dengan kayu menancap jantungnya. Mom sudah tak berbentuk lagi, kepalanya tergencet bagian depan mobil yang ringsek. Danny terkapar dengan leher tertebas pecahan kaca. Dan aku? Oh Tuhan. Benarkah itu aku? Aku tergeletak di samping tubuh Danny, dengan gunting menembus mataku. Aku terhuyung lemas, tak percaya dengan apa yang kulihat. Danny menangis meraung-raung.
�Kenapa?! Apa yang terjadi pada kami?!� aku memekik histeris.
Daisy tersenyum samar. �Keluargaku meninggal dalam sebuah kebakaran. Beberapa tahun lalu. Kami kesepian. Dan bukankah sudah kubilang Jess? Kami butuh teman. Saat kalian pindah kemari aku sudah memilih kalian sebagai teman bagi keluargaku. Jadi aku berlari ke tengah jalan dan membuat ayahmu kaget. Mom membantuku mendorong mobil kalian ke jurang. Hahaha. Apa kalian tidak heran kenapa hanya keluargaku yang mengunjungi kalian? Kalian kini adalah teman kami. Kalian bagian dari Dark Peak.�
Daisy tertawa keras, membuatku pusing dan tiba-tiba mual.
Aku� Danny... Mom� Dad�
Kami kini adalah bagian dari Dark Peak.