"Bukannya Kakak berjanji tidak akan melakukannya lagi?"
"Ini sudah takdirku. Takdir keluarga kita. Doakan Abang, Sarah."
Lalu, sambil menyelipkan golok dan pisau kecil di pinggangnya, lelaki itu segera berangkat.
Sarah terdiam melihat semua itu. Namun, dia harus mengucapkan keinginannya sebelum Kakaknya terlampau jauh untuk mendengar ucapannya, sebelum semuanya terjadi. "Kak, tunggu..."
***
Sarah buru-buru melangkahkan kakinya menuju rumah. Dia memahami bahwa dirinya tidak boleh terlambat. Tidak boleh. Pesan singkat yang dikirimkan kakaknya sejak dia di sekolah tadi membuatnya gusar. Kakaknya akan melanggar janji itu. Sebuah janji yang diucapkan setahun lalu.
"Tapi, itu takkan terjadi selama masih ada aku!" tandas Sarah dalam hati, "Mudah-mudahan aku belum terlambat."
Fiuh, Sarah menghela napasnya dan mengelap keringat yang mengucur deras dari seluruh kepalanya. Matahari yang bersinar terik menciptakan suasana yang cukup panas hari itu, sepanas hatinya saat itu. Dia beruntung Kakaknya belum berangkat.
Lalu, tanpa membuang waktu, dia buru-buru masuk ke dalam rumah. Mencari Kakaknya. Sebuah upaya untuk menghentikannya. Saat mengetahui Kakaknya berada di dapur, Sarah menghampirinya.
Sebuah golok tengah digesek-gesekkan ke pengasah. Memberikan efek nggenggirisi di ulu hatinya.
"Kakak mau membunuh lagi?" Sarah bertanya pelan pada Kakaknya.
Maulana berhenti mengasah golok, menengok kepada Sarah yang tengah berdiri mematung di belakangnya. "Sudah pulang kamu? Makan dulu gih sana."
"Tidak, sebelum Kakak menjawab pertanyaanku!"
Kakak Sarah mendesah. Seolah ada beban berat yang menghimpit pundaknya. "Tidak bisa tidak, aku memang harus melakukannya, Sar."
"Bukannya Kakak berjanji tidak akan melakukannya lagi?"
"Sejak ayah ibu meninggal, kamu menjadi tanggunganku. Tidak ada keahlianku selain ini."
"Membunuh?"
"Ini sudah takdirku. Takdir keluarga kita." Maulana menengok kepada Sarah.
Sarah maju beberapa langkah mendekati Kakaknya. "Tapi..."
Belum selesai Sarah menyelesaikan kalimatnya, Kakaknya keburu berbalik dan menghentikannya. "Kita tidak perlu berdebat soal ini. Aku takkan berhenti hanya karena rengekanmu. Duitnya terlalu besar untuk dilewatkan. Dan Kakak sudah terima uang down payment-nya."
"Apa?! Sarah nggak mau makan uang itu."
"Sudahlah, Sar. Doakan saja Kakakmu ini." Lalu, Maulana mengambil gesper hansip berwarna hijau dan memasangnya di pinggangnya sambil menyelipkan golok dan pisau kecil di pinggangnya.
Sarah hanya terdiam melihat kepergian Kakaknya. Namun, giliran dia yang tersenyum. Tampaknya dia mulai memahami sesuatu. Dia segera memanggil Kakaknya untuk mengucapkan keinginannya, sebelum Kakaknya terlampau jauh untuk mendengar ucapannya, sebelum semuanya terjadi. "Kak... tunggu!"
Maulana berhenti mendengar panggilan adiknya yang tengah berlari ke arahnya. "Apalagi?"
"Jangan lupa bawain sedikit sop kambingnya yah. Lagian kapan lagi Uwak Manis mengaqiqahi anak-anak yatim?"
"Huu, dasar kamu!"
"Hehehe..."[GDUSFZ5S7G67]
"Ini sudah takdirku. Takdir keluarga kita. Doakan Abang, Sarah."
Lalu, sambil menyelipkan golok dan pisau kecil di pinggangnya, lelaki itu segera berangkat.
Sarah terdiam melihat semua itu. Namun, dia harus mengucapkan keinginannya sebelum Kakaknya terlampau jauh untuk mendengar ucapannya, sebelum semuanya terjadi. "Kak, tunggu..."
***
Sarah buru-buru melangkahkan kakinya menuju rumah. Dia memahami bahwa dirinya tidak boleh terlambat. Tidak boleh. Pesan singkat yang dikirimkan kakaknya sejak dia di sekolah tadi membuatnya gusar. Kakaknya akan melanggar janji itu. Sebuah janji yang diucapkan setahun lalu.
"Tapi, itu takkan terjadi selama masih ada aku!" tandas Sarah dalam hati, "Mudah-mudahan aku belum terlambat."
Fiuh, Sarah menghela napasnya dan mengelap keringat yang mengucur deras dari seluruh kepalanya. Matahari yang bersinar terik menciptakan suasana yang cukup panas hari itu, sepanas hatinya saat itu. Dia beruntung Kakaknya belum berangkat.
Lalu, tanpa membuang waktu, dia buru-buru masuk ke dalam rumah. Mencari Kakaknya. Sebuah upaya untuk menghentikannya. Saat mengetahui Kakaknya berada di dapur, Sarah menghampirinya.
Sebuah golok tengah digesek-gesekkan ke pengasah. Memberikan efek nggenggirisi di ulu hatinya.
"Kakak mau membunuh lagi?" Sarah bertanya pelan pada Kakaknya.
Maulana berhenti mengasah golok, menengok kepada Sarah yang tengah berdiri mematung di belakangnya. "Sudah pulang kamu? Makan dulu gih sana."
"Tidak, sebelum Kakak menjawab pertanyaanku!"
Kakak Sarah mendesah. Seolah ada beban berat yang menghimpit pundaknya. "Tidak bisa tidak, aku memang harus melakukannya, Sar."
"Bukannya Kakak berjanji tidak akan melakukannya lagi?"
"Sejak ayah ibu meninggal, kamu menjadi tanggunganku. Tidak ada keahlianku selain ini."
"Membunuh?"
"Ini sudah takdirku. Takdir keluarga kita." Maulana menengok kepada Sarah.
Sarah maju beberapa langkah mendekati Kakaknya. "Tapi..."
Belum selesai Sarah menyelesaikan kalimatnya, Kakaknya keburu berbalik dan menghentikannya. "Kita tidak perlu berdebat soal ini. Aku takkan berhenti hanya karena rengekanmu. Duitnya terlalu besar untuk dilewatkan. Dan Kakak sudah terima uang down payment-nya."
"Apa?! Sarah nggak mau makan uang itu."
"Sudahlah, Sar. Doakan saja Kakakmu ini." Lalu, Maulana mengambil gesper hansip berwarna hijau dan memasangnya di pinggangnya sambil menyelipkan golok dan pisau kecil di pinggangnya.
Sarah hanya terdiam melihat kepergian Kakaknya. Namun, giliran dia yang tersenyum. Tampaknya dia mulai memahami sesuatu. Dia segera memanggil Kakaknya untuk mengucapkan keinginannya, sebelum Kakaknya terlampau jauh untuk mendengar ucapannya, sebelum semuanya terjadi. "Kak... tunggu!"
Maulana berhenti mendengar panggilan adiknya yang tengah berlari ke arahnya. "Apalagi?"
"Jangan lupa bawain sedikit sop kambingnya yah. Lagian kapan lagi Uwak Manis mengaqiqahi anak-anak yatim?"
"Huu, dasar kamu!"
"Hehehe..."[GDUSFZ5S7G67]