"Terserah mau kau habisi dengan cara apa. Aku tak peduli. Yang jelas besok berita kematiannya harus menjadi headline di media. Haha."
Lelaki tua menjelang 60 tahunan itu menyerahkan selembar cek. Matanya jalang membayangkan sesuatu yang gegap gempita apalagi kalau bukan kematian orang di foto ini.
Aku tidak bertanya mengapa orang di foto ini harus mati, juga mengapa orang-orang di foto-foto sebelumnya harus mati. Bukan urusanku. Urusanku hanyalah melaksanakan tugas sebaik mungkin, tanpa meninggalkan jejak yang bisa dilacak.
Aku bukanlah pembunuh. Bukankah kematian adalah takdir yang telah ditentukan? Jika aku membunuh seseorang lantas ia mati, bukankah sesungguhnya itu hanya sebuah kebetulan, tanpa aku habisi pun ia juga akan mati, kan? Aku hanyalah perpanjangan tangan dari takdir. Begitulah yang selalu kukatakan kepada diriku sendiri: aku bukanlah seorang pembunuh. Keluargaku tidak hidup dari kematian orang lain.
Aku menatap foto itu, membayangkan apa yang saat ini tengah dilakukan orang itu, akankah dia memiliki firasat bahwa esok riwayatnya akan tamat? Pastilah ia memiliki keluarga, pastilah ada orang yang sungguh-sungguh tulus mencintainya sekalipun ia jahanam. Ya, kuharap korban-korbanku adalah para jahanam yang tak pantas untuk hidup lebih lama di muka bumi dan memperpanjang penderitaan orang lain.
Esok orang-orang yang mencintainya akan menangis lalu keesokan harinya mungkin berebut warisan. Begitulah perjalanan hidup orang-orang laknat, kematiannya pun akan meninggalkan masalah, sebab hidupnya tidak pernah terberkati.
Dalam melaksanakan tugasku, aku harus berhasil, sempurna tanpa cacat, sebab keluargaku lah jaminan kegagalanku. Jika aku tertangkap maka keluargaku akan dibunuh kalau aku berani menguak semuanya bahkan aku percaya tanpa aku menguak semuanya pun, keluargaku dalam masalah besar. Tidak. Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi sebab aku selalu profesional melaksanakan tugas.
Esok hari target akan pulang ke rumah sekitar pukul enam sore, di saat itulah, aku akan menunggu di bawah rimbunnya bonsai. Ketika mobil mendekat, aku akan menarik pelatuk, peluru akan menembus kaca mobil, lalu bersarang di jantungnya, membuat jantung itu berhenti memberinya kehidupan. Selama-lamanya. Tidak akan ada bunyi apapun sebab pistolku dilengkapi dengan alat peredam suara. Kematian itu akan menjadi kematian yang sunyi dan menyentuh, tapi aku tidak akan tersentuh.
Telah tiga jam aku berdiri di bawah bonsai ini. Tidak ada mobil yang seharusnya datang. Aku mulai resah. Tapi aku tidak boleh gegabah. Aku harus tetap menunggu. Jalanan barangkali macet total, ada kecelakaan, ada razia, atau apalah, aku harus tetap bersabar.
Teleponku bertulalit, sang pemberi pekerjaan yang menelpon. Aku mulai kalap.
"Bodoh! Bodoh! Dia mengetahui rencana pembunuhan ini! Cepat kau kabur, sebentar lagi polisi memburumu! Jantungku seperti berhenti berdenyut. Aku langsung lemas. "Keluargamu sudah kuamankan."
Telepon ditutup.
Keluargamu sudah kuamankan. Kata-kata itu terngiang dan menimbulkan perasaan ngeri luar biasa. Sudah diamankan itu artinya keluargaku siap dibunuh jika sesuatu yang merugikan mereka terjadi.
Dengan hati terkoyak-koyak, aku menyetir mobil. Entah harus kemana. Entah apakah yang akan terjadi beberapa saat lagi. Entah. Entah.
Suara sirene mobil polisi meraung-raung. Aku semakin ngebut. Beberapa mobil kutabrak begitu saja. Orang-orang di jalanan terpekik-pekik menghindari amukan mobilku yang sudah di luar kendali. Aku tak perduli. Aku tak mengerti. Aku berhenti di sebuah lorong kecil. Keluar dari mobil. Berlari dengan mata terpejam dan jantung yang nyaris lepas. Suara helikopter polisi meraung-raung di udara.
"Anda sudah dikepung, harap menyerahkan diri."
Apakah aku memiliki firasat bahwa hari ini riwayat aku dan keluargaku akan tamat?
Lelaki tua menjelang 60 tahunan itu menyerahkan selembar cek. Matanya jalang membayangkan sesuatu yang gegap gempita apalagi kalau bukan kematian orang di foto ini.
Aku tidak bertanya mengapa orang di foto ini harus mati, juga mengapa orang-orang di foto-foto sebelumnya harus mati. Bukan urusanku. Urusanku hanyalah melaksanakan tugas sebaik mungkin, tanpa meninggalkan jejak yang bisa dilacak.
Aku bukanlah pembunuh. Bukankah kematian adalah takdir yang telah ditentukan? Jika aku membunuh seseorang lantas ia mati, bukankah sesungguhnya itu hanya sebuah kebetulan, tanpa aku habisi pun ia juga akan mati, kan? Aku hanyalah perpanjangan tangan dari takdir. Begitulah yang selalu kukatakan kepada diriku sendiri: aku bukanlah seorang pembunuh. Keluargaku tidak hidup dari kematian orang lain.
Aku menatap foto itu, membayangkan apa yang saat ini tengah dilakukan orang itu, akankah dia memiliki firasat bahwa esok riwayatnya akan tamat? Pastilah ia memiliki keluarga, pastilah ada orang yang sungguh-sungguh tulus mencintainya sekalipun ia jahanam. Ya, kuharap korban-korbanku adalah para jahanam yang tak pantas untuk hidup lebih lama di muka bumi dan memperpanjang penderitaan orang lain.
Esok orang-orang yang mencintainya akan menangis lalu keesokan harinya mungkin berebut warisan. Begitulah perjalanan hidup orang-orang laknat, kematiannya pun akan meninggalkan masalah, sebab hidupnya tidak pernah terberkati.
Dalam melaksanakan tugasku, aku harus berhasil, sempurna tanpa cacat, sebab keluargaku lah jaminan kegagalanku. Jika aku tertangkap maka keluargaku akan dibunuh kalau aku berani menguak semuanya bahkan aku percaya tanpa aku menguak semuanya pun, keluargaku dalam masalah besar. Tidak. Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi sebab aku selalu profesional melaksanakan tugas.
Esok hari target akan pulang ke rumah sekitar pukul enam sore, di saat itulah, aku akan menunggu di bawah rimbunnya bonsai. Ketika mobil mendekat, aku akan menarik pelatuk, peluru akan menembus kaca mobil, lalu bersarang di jantungnya, membuat jantung itu berhenti memberinya kehidupan. Selama-lamanya. Tidak akan ada bunyi apapun sebab pistolku dilengkapi dengan alat peredam suara. Kematian itu akan menjadi kematian yang sunyi dan menyentuh, tapi aku tidak akan tersentuh.
Telah tiga jam aku berdiri di bawah bonsai ini. Tidak ada mobil yang seharusnya datang. Aku mulai resah. Tapi aku tidak boleh gegabah. Aku harus tetap menunggu. Jalanan barangkali macet total, ada kecelakaan, ada razia, atau apalah, aku harus tetap bersabar.
Teleponku bertulalit, sang pemberi pekerjaan yang menelpon. Aku mulai kalap.
"Bodoh! Bodoh! Dia mengetahui rencana pembunuhan ini! Cepat kau kabur, sebentar lagi polisi memburumu! Jantungku seperti berhenti berdenyut. Aku langsung lemas. "Keluargamu sudah kuamankan."
Telepon ditutup.
Keluargamu sudah kuamankan. Kata-kata itu terngiang dan menimbulkan perasaan ngeri luar biasa. Sudah diamankan itu artinya keluargaku siap dibunuh jika sesuatu yang merugikan mereka terjadi.
Dengan hati terkoyak-koyak, aku menyetir mobil. Entah harus kemana. Entah apakah yang akan terjadi beberapa saat lagi. Entah. Entah.
Suara sirene mobil polisi meraung-raung. Aku semakin ngebut. Beberapa mobil kutabrak begitu saja. Orang-orang di jalanan terpekik-pekik menghindari amukan mobilku yang sudah di luar kendali. Aku tak perduli. Aku tak mengerti. Aku berhenti di sebuah lorong kecil. Keluar dari mobil. Berlari dengan mata terpejam dan jantung yang nyaris lepas. Suara helikopter polisi meraung-raung di udara.
"Anda sudah dikepung, harap menyerahkan diri."
Apakah aku memiliki firasat bahwa hari ini riwayat aku dan keluargaku akan tamat?
Penulis: Zilly | Kemudian